Hijau toska. Sekali waktu diajarkannya padaku tentang
mencipta sebuah lembar-lembar kosong. Yang putih, yang bersih, mempersilakan
dua kesunyian datang dan berbagi. Menggoreskan kisah membalikkan pasir waktu.
Agar kembali jingga tatapannya. Agar duka enggan membayang kembali,
menghitamkan jejak langkah yang semestinya tlah jauh melampau jalan padas terjal ini.
Sekali waktu ia bercerita. Mengajukan sebuah pinta
sederhana. Menyambangkan mata pada debu-debu,saksi perjalanan usang mereka yang
mungkin tlah sampai pada ujung-ujung rahasia. Ya. Tentu. Peka hati ini terbangun dari mimpi panjang
yang sengaja memori ini merekamnya. Menyimpan dan menutupnya rapat-rapat. Tak
hanya aku yang pernah terluka. Mereka pun ada di sini. Dalam kungkung hijau
toska. Dalam sebuah lekuk ruang nan tak beraturann tapi teramat rupawan.
Anggun. Damai. Membelai hati. Menyejukkan perih luka dengan penuh
kehati-hatian. Bersama kata-katanya yang santun bersahabat. Dengan cinta yang
diambil dari langit, turun pelan-pelan bersama hujan, melalui pipa-pipa
perasaan. Tak pernah menyakiti. Aku terpesona melihatnya. Lalu aku tertegun,
mengingatnya sedikit, kemudian berkata selamat tinggal. Tentu aja kau tau,
siapa gerangan yang hendak ku tinggalkan. Masa lalu. Masa lalu yang sempat
mengalahkan jernih mata memandang jalan berkelok-kelok di depan sana. Yang
menantang keteguhan akan rahasia-rahasia besar pada ujungnya. Aku tersenyum.
Hanya sedikit. Saat klebat matanya seakan berteriak dan berkata ,”Jangan
lakukan!!”. Sempat tangan ini ingin kembali membuka puisi-puisi indah yang
kuukir dengan jemari-jemariku sendiri sekian tahun silam. Desah itu kemudian
mengingatkan. Dia telah bersama dengan cintanya. Cinta yang lain. Yang lebih
bersemi dari apa yang pernah kau tanam untuknya.
Cinta. Siapa sangka kata-kata itu kembali mampu menggelitik
hati yang hampir mati. Telah saja kubiarkan ia merah padam dan pergi dari jiwa
yang berlari meninggalkan sahaya si pemberi rasa. Lalu ku diamkan. Hati itu
pergi mengembara, tak peduli mata kosong sang tuan yang berkata enggan
beratus-ratus kali melihat muara sang ujung masa. Hijau toska. Peristirahatan
kisah itu melirik keputuasaan yang bersandar pada bayang-bayang masa lalu.
Lalu, tak tertarik pula jemari ini meraba akhir dari getir sebuah kesetiaan tak
bersahaja. Kesetiaan yang tak pernah berimbalkan cinta nan semestinya.
Hijau toska. Sebuah persemayaman masa lalu. Ku titipkan
cerita-cerita itu padamu. Dan tak pernah lagi hati ini kan kembali singgah.
Agar sebuah kalimat perpisahan pun menjadikanmu pijakan masa yang akan datang,
persinggahan orang-orang yang berlelah hati. Mencari tuah dan mendapati bahwa
cinta dari Maha Rahman adalah satu-satunya yang abadi. Agar setiap gores tak seperih yang pernah
melukai.
Dari seorang penjaga masa lalu sebuah kisah ia bertuah pada seorang
yang terlara. Hati itu dipilih. Bukan memilih. Cintailah pelan-pelan...
Hati yang mengembara akan berpulang pada tuannya, bersama
sebuah kisah titipan Maha Rahim. Melalui perjanjian besar yang terucap
dibersamai doa para malaikat. Pada muara yang dari jalan ini tak pernah
diperlihatkan pada kita, rahasia besar di balik gemericik air dari bermacam
penjuru rasa manusia.