22 Apr 2013

Sebuah Hari



Air mata langit itu mengalir deras dari atas. Memamerkan dirinya padaku yang sendirian. Memperlihatkan lenggak lenggok langkah dari balik jendela tanpa jari-jemari ini dapat menyalamnya. Ku kejar kemana larinya. Tapi mereka semua menghilang. Tanpa sedikitpun memberi kesempatan. Lalu ketika hati ini merasa melepas asa. Dalam hati tiap doa terjuntai ku adukan padaNya, agar tersertakan pada tiap tetes rahmat yang di sebarkan di bumi ini, yang menghidupkan, yang menumbuhkan.
Tak satupun terlewat dari lambai-lambai kasih sayang Robbku itu tanpa sebuah permohonan. Karena kalamNya tlah berkata padaku, “Berdoalah, maka akan Ku kabulkan”.  Pun pula Ummul mukminin kami Ibunda Aisyah pernah berujar ribuan tahun lalu, Bahwa jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat hujan, maka beliau berucap ….”Allahumma Shayyiban Naafi’aa”
Butir-butir itu membentuk garis-garis patah dan tegas karena tarikan gravitasi. Mengatakan padaku, kelemahlembutan adalah indah dibersamai dengan keteguhan dan keyakinan pada satu Dzat di atas sana. Suaranya yang lembut tapi lantang, mengisyaratkan agar apa yang terlontar dari hati ini terpilah dan tak menyakiti.
Lalu lamat-lamat juntai doa-doa itu mengiringkan sebuah lukisan. Begitu cantik tapi terlihat kuat. Tentu saja setiap bagian dari raga ini mengenalnya, seseorang yang sekian taun silam mempertaruhkan nyawanya. Ntah seperti apa, karena aku pun tak pernah melihat bagaimana ia berjuang saat itu, tapi sungguh tak bisa terelak diri ini begitu merindunya. Yang jauh dan tak bisa dipeluk, tapi doanya selalu saja mengalir dan tanpa sapaan darinya yang tanpa memperdengarkan kekhawatiran atas sempalan darah dagingnya di tanah yang berbeda.   
Sebuah hari yang terawal dari RahmahNYa, yang berjalan dengan butir-butir bersuara merdu, lalu Dia menutupnya dengan sejuk senja dan iring-iringan gerimis yang hangat. Apalagi kalau bukan kata terimakasih yang mesti terucap. Sebuah perjalanan dalam satu bilangan tlah terlalui dan tertutup dengan sebuah kesempatan mustajab dari tetes-tetes itu untuk diri ini kembali berharap agar bilangan baru yang akan terjalani senantiasa berada dalam cintaNya..



13 Apr 2013

Menggantung di Ujung Jemari



Sebuah ungkapan yang terlalu sederhana dan terlalu sering mengetuk gendang telinga. Gunung pun dapat terbentuk dari butir- butir debu yang menanam tajam sebuah azam hingga batu-batu dilangit terkalahkan oleh tingginya. Begitupun kantong-kantong perasaan ini, telah penuh dengan seribu satu masa lalu yang datang tinggal dan tak mau pergi.  Butir-butir air mata tak lagi mampu menunggu gilirannya melihat bulan gelap di atas sana. Menyedihkan. Dan merasa paling menderita. Lalu apa benar setiap langkah dibelakang waktu itu selalu menyedihkan? Nyatanya sebagian mata berbinar tawa kala indah itu tlah ada digenggamnya dan kisah timur hanya menjadi bahan jenaka. Hati memang selalu berbeda. Butir-butir yang mampu mengalahkan rasa, tlah terkubur teramat jauh bahkan mata tak lagi mampu mengejarnya. Tapi bagaimana dengan hati? Dindingnya selalu kokoh, tanpa sela, dan terlalu sempit tuk sekedar melewatkan sedikit kisah senja.  Saat langit yang terbakar tak mampu mengubah jingganya. Rindu dalam hati itu berkumpul, hari demi hari, hingga sebutir saja dari ribuan detik langkah yang terekam bersama denyut tak lagi mendapatkan tempat, sedangkan sayang apa yang dikata tak bisa tangan merengkuh, tak lagi tau kemana arah kaki ini harus melangkah, karena yang dicari tlah pergi, menghilang. Menyelipkan sebuah rindu semasa nyawa masih bertuan. Begitulah janjinya sebelum pergi. Bahkan hingga titipan rindu itu terbagi. Dan yang dieratkan pada tangannya bukan rindu yg tertitip kepadaku.  Pada suatu batas, pun hati ini sempat terbangun dan menggali lebih jauh dan mengubur setiap kisahnya lebih dalam. Tapi hati memang selalu berbeda. Tak lagi mampu kejujuran ini dikalahkan.  Dalam ketiadaan daya mata, telinga dan lengan ini hendak memeluknya. Luapan rindu dalam hati. Menggantung diujung jemari.

16 Desember 2024

Hari sebelumnya, kami sedang membaca buku bersama. Dunia Tumbuhan. Buku baru Nehan. Lalu ada sebuah tumbuhan yang mengena di hati saya. Embu...