13 Apr 2013

Menggantung di Ujung Jemari



Sebuah ungkapan yang terlalu sederhana dan terlalu sering mengetuk gendang telinga. Gunung pun dapat terbentuk dari butir- butir debu yang menanam tajam sebuah azam hingga batu-batu dilangit terkalahkan oleh tingginya. Begitupun kantong-kantong perasaan ini, telah penuh dengan seribu satu masa lalu yang datang tinggal dan tak mau pergi.  Butir-butir air mata tak lagi mampu menunggu gilirannya melihat bulan gelap di atas sana. Menyedihkan. Dan merasa paling menderita. Lalu apa benar setiap langkah dibelakang waktu itu selalu menyedihkan? Nyatanya sebagian mata berbinar tawa kala indah itu tlah ada digenggamnya dan kisah timur hanya menjadi bahan jenaka. Hati memang selalu berbeda. Butir-butir yang mampu mengalahkan rasa, tlah terkubur teramat jauh bahkan mata tak lagi mampu mengejarnya. Tapi bagaimana dengan hati? Dindingnya selalu kokoh, tanpa sela, dan terlalu sempit tuk sekedar melewatkan sedikit kisah senja.  Saat langit yang terbakar tak mampu mengubah jingganya. Rindu dalam hati itu berkumpul, hari demi hari, hingga sebutir saja dari ribuan detik langkah yang terekam bersama denyut tak lagi mendapatkan tempat, sedangkan sayang apa yang dikata tak bisa tangan merengkuh, tak lagi tau kemana arah kaki ini harus melangkah, karena yang dicari tlah pergi, menghilang. Menyelipkan sebuah rindu semasa nyawa masih bertuan. Begitulah janjinya sebelum pergi. Bahkan hingga titipan rindu itu terbagi. Dan yang dieratkan pada tangannya bukan rindu yg tertitip kepadaku.  Pada suatu batas, pun hati ini sempat terbangun dan menggali lebih jauh dan mengubur setiap kisahnya lebih dalam. Tapi hati memang selalu berbeda. Tak lagi mampu kejujuran ini dikalahkan.  Dalam ketiadaan daya mata, telinga dan lengan ini hendak memeluknya. Luapan rindu dalam hati. Menggantung diujung jemari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

16 Desember 2024

Hari sebelumnya, kami sedang membaca buku bersama. Dunia Tumbuhan. Buku baru Nehan. Lalu ada sebuah tumbuhan yang mengena di hati saya. Embu...