Kematian. Satu kata yang pada awalnya menjadi remeh temeh,
lalu mampu membuat orang menangis sejadi-jadinya karena ditinggalkan. Dialah yang
paling dekat. Dialah yang kan setiap orang tuju, saat satu persatu dirinya
menyerah, mengembalikan ruh pada pemiliknya. Satu detik kedepan kita tak pernah tahu apa
yang terjadi pada diri kita, pada diri orang-orang yang menjadi cinta kita. Mungkin pertanda kan ada. Seperti beberapa nama tlah terkenang
sebelumnya, melalui mimpi, melalui sakit, melalui rasa, rasa rindu yang setiap
waktu membuatnya peka bahwa hari ini, siang ini, atau malam ini diri kan pergi
hingga seuntai maaf dan sebaris pesan tak terlewatkan.
Lalu mengingatkan pada diri ini, bagaimana nanti? Jika giliran itu tiba, jika kita menjadi yang ditangisi. Mungkin. Atau tak ada yang peduli? Bisa saja bukan? lalu dimana saat kita dijemputnya, utusan pembawa pesan berakhirnya kehidupan. Ada indah yang sekejap, mungkin, ketika terpejam dalam peluk orang-orang yang tercinta, tapi sayang, tak ada pinta tuk kita memilih bersama siapa. Bisa saja bahkan sisa raga ini pun kekasih-kekasih itu tak mampu bertemu. Tenggelam mengakar pada karang, tertimbun kembali pada sang bumi, atau entah dimana tempatnya. Lagi-lagi semua itu hanya sebatas “mungkin”. Karena pada akhirnya, kita hanya mampu berdoa agar ujung dari sepanjang jalan yang kita cari adalah muara yang melegakan rasa lelah selama ini.
Kematian. Satu batas yang menentukan apakah kita kan
dilupakan, atau dikenang. Semua mengabadi pada setiap tinta yang mewarnai
kertas kosong kita. Entah seperti apa nanti cara mereka mengingat kita, entah
apa doa-doa yang kan menjadi bekal kita. Lagi-lagi kita pun tak pernah tau. Hanya
saja, bisa kita tutup warna-warna gelap pada kertas itu dengan tinta-tinta
pelangi nan indah, meski bekas-bekas gelap tak semuanya hilang, setidaknya
suatu saat, gelap yang samar-samar itu menjadi saksi, kita manusia biasa. Yang berkuasa
atas usaha, bukan takdir, bukan akhir...