Nasabnya
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay
bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
an-Nadhar bin Kinanah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu Turab. Ia adalah
sepupu sekaligus menantu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Qushay bin Kilab. Ali
memiliki beberapa orang saudara laki-laki yang lebih tua darinya, mereka
adalah: Thalib, Aqil, dan Ja’far. Dan dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’
dan Jumanah.
Ayahnya, Abu Thalib yang nama aslinya adalah Abdu Manaf. Abu Thalib adalah
paman kandung Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat
menyayangi Nabi, namun ia wafat dalam agama jahiliyah.
Sifat Fisiknya
Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki berkulit sawo matang, bola mata beliau
besar dan agak kemerah-merahan. Untuk ukuran orang Arab, beliau termasuk
pendek, tidak tinggi dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundaknya putih.
Rambut di dada dan pundaknya cukup lebat, berwajah tampan, memiliki gigi yang
rapi, dan ringan langkahnya (
ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 25)
Keutamaan Ali bin Abi Thalib
Ø
Termasuk Seseorang Yang Dijamin Surga
Dalam sebuah hadis, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah
di surga, az-Zubair di surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) di surga, Sa’id (bin
Zaid) di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di
surga.” (HR. at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Albani).
Ø
Rasulullah Mengumumkan di Khalayak Bahwa
Allah dan Rasul-Nya Mencintai Ali
Saat Perang Khaibar, Rasulullah hendak memberikan bendera komando perang
kepada seseorang. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’adi, Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah, akan aku serahkan bendera ini esok hari kepada orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dia dicintai Allah dan Rasul-Nya. Semoga
Allah memberikan kemenangan melalui dirinya.” Maka semalam suntuk orang-orang
(para sahabat) membicarakan tentang siapakah di antara mereka yang akan
diberikan bendera tersebut. Keesokan harinya, para sahabat mendatangi
Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?” Dijawab,
“Kedua matanya sedang sakit.” Rasulullah memerintahkan, “Panggil dan bawa dia
kemari.” Dibawalah Ali ke hadapan Rasulullah, lalu beliau meludahi kedua
matanya yang sakit seraya berdoa untuknya. Seketika Ali sembuh total
seolah-olah tidak tertimpa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera kepadanya. Lalu Ali berkata, “Wahai
Rasulullah, aku memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita.” Rasululah
bersabda, “Majulah dengan tenang, sampai engkau tiba di tempat mereka. Kemudian
ajaklah mereka kepada Islam dan sampaikanlah hak-hak Allah yang wajib mereka
tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah member petunjuk kepada seseorang melalui
dirimu, sungguh lebih berharga bagimu daripada memiliki onta-onta merah.” (HR.
Muslim no. 4205).
Ø
Kedudukan Ali di Sisi Rasulullah
Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, dari Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada Ali, “Apakah engkau tidak ridha
kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.” (Muttafaq
‘alaihi).
Hadis ini Rasulullah sampaikan kepada Ali saat beliau tidak menyertakan Ali
bin Abi Thalib dalam pasukan Perang Tabuk. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya agar menjadi wakil beliau di kota Madinah. Ali yang
merasa tidak nyaman hanya tinggal bersama wanita, anak-anak, dan orang tua yang
udzur tidak ikut perang dihibur Rasulullah dengan sabda beliau di atas.
Sa’d bin Abi Waqqash
radlhiallahu ‘anhu membawakan hadits semisal
dalam
ash-Shahihain:
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah memberi tugas Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk (untuk
menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). Ali pun berkata, ‘Wahai
Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah
?’ Maka beliau menjawab, ‘
Tidakkah
engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi
Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari
no. 4416 dan Muslim no. 2404).
Hadis ini dipakai oleh orang-orang yang berlebihan dalam mengagungkan Ali
bin Abi Thalib sebagai legitimasi bahwa Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan
Umar. Padahal hadis ini adalah pembelaan Rasulullah terhadap Ali yang dituduh
oleh orang-orang munafik bahwa dia merasa berat untuk berangkat perang.
Ali berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau
menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan
kemudian memberikan keringanan”. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Mereka telah berdusta! Kembalilah, aku menugaskanmu untuk mengurus
keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di
sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi
setelahku?”. Maka Ali pun akhirnya kembali ke Madinah (
Taariikhul-Islaam,
1: 232).
Ø
Ayah Dari Pemimpin Pemuda Surga
Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu adalah ayah dari dua orang cucu
kesayangan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni Hasan dan
Husein. Kedua cucu beliau ini adalah pemimpin para pemuda di surga.
Rasulullah bersabda,
الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“al-Hasan dan al-Husain adalah pemimpin pemuda ahli Surga.” (HR.
at-Tirmidzi, no. 3781)
Ø
Terkenal
dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan yang tinggi.
Selain Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib juga terkenal keberaniannya
didalam peperangan. Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang
pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau
memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan "
Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam
perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh.
Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk
laksana badai gurun.
Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan
pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut
dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya
menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi
penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang
setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah
sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam
takkan lagi tegak di muka bumi ini..."
Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan
muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30
gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan
bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali,
menjadi bintang lapangannya hari itu.
Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang
disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi
penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu
demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi
Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan
darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali
semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam
kondisi kritis.
Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah
banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya,
Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah
yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah
manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid
bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian,
hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan
perkembangan Islam.
Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Ali kembali menjadi
pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni
tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud.
Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan
satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang
berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.
Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan.
Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan
kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat
Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama
dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.
Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk.
Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab
Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan
Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang Tabuk. Kehadiran Ali
di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk
itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Ø
Ali adalah
remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan
oleh Rasulullah.
Beliau sudah mengikuti Rasulullah sejak kecil dan hidup bersama Beliau
sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya. Sejak masih berumur 6
tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Saat ayahnya,
buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia
telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau
berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada
kebaikan".
Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah
hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali
adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai
peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam. Kecintaan Ali pada
Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan
ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu :
"Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat...
"Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu
membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan
memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang
masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.
Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai
forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun,
muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian
menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar
sudah lama binasa"
Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di
ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh
puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di
pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika
kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu
'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.
Ø
Hidup
sangat sederhana
Kesederhanaan keluarga Ali sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan
sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan.
Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam
kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana,
Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein
bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.
Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka
masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat
mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai
kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta
belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan
betapa air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu
begitu khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi
menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula
dikenalnya.
Ali dan Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan
padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena
Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang
diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia
tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.
Masa Kekhalifahan
Amirul Mukminin Ali ra., berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama
pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan.
Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan
kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan)
menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung
menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.
Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang
dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam
barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya
menjadi khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul
pahit.
Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah
'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat
dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang
terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil
sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".
Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini
kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk
Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah
terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik.
Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi
jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs),
kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal
mulanya masa kemunduran Islam.
Pemberontakan dan Akhir Masa
Kekhalifahan
1. Perang Jamal
Ketidaksempurnaan informasi yang diterima bunda
Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya
menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda
Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah,
turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah
Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali
mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda Aisyah ke
Mekkah.
2. Perang Shiffin.
Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu
Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya
sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka
bertemu dalam Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan
Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat
pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu
dialog.
3. Perundingan
Inilah yang kemudian membawa babak baru dalam
kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase)
yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan
kemuliaan hati Ali di sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal
dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan
kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan
menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian
mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan
kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.
Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari
sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap
kematian Khalifah Ali.
Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang
tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap
perundingan tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin
Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar
ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh
ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.
Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab,
penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya.
Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun
warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat
berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali
di anggap angin lalu oleh warga Kufah.
Karena itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak
menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak
mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan
tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan
mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”
Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku
perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab
panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat
kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan
pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat,
kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian.
Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”
"Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih
mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di
tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu
yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat
itu. Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang
nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin
memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji
itu...
Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya
telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah
kembali berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah
berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah
melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya,
Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.
Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari
sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya.
Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi
pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran
darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui
kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan
diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.
Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan
“Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan
yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun
yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan
siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan
mendapatkan balasannya.”
Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim.
Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan
anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang
merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat,
memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf
dan nahi munkar.
Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para
pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.
Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri,
dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi
musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan
menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena
mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".
Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang
keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang
untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau,
"Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya
menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat
sedikit".
Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, “Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan
melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada
yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku
kecuali ia seorang munafik.” (HR. Muslim, no. 249)