Aku berada di sini saat ini. Sebuah ruang yang membelenggu
waktu. Putih, diam, tercahayai semburat jingga dari deret kaca-kaca hijau
toska. Membuat mata ini menjadi pagi. Bangsal-bangsal itu seolah memberikan
isyaratnya padaku untuk diam. Karena mereka menginginkan sepi, mungkin. . Atau
hendak menyampaikan pesan. Entahlah, tapi smuanya memang tertidur dan telinga
ini mulai bosan. Ku ajak sebagian jiwa ini menerobos lubang-lubang waktu,
keluar sejenak menjejak jalan-jalan yang luput dari peka hati memungut
pelajaran. Biarkan tubuhnya tertidur, agar silap nurani itu berkelebat sejauh
yang hendak dicapai. Biarkan raganya bermimpi nyenyak dalam tidur, sedang
ruhnya menyelinap dari penjara waktu, memulai perjalanannya, mencari muara.
Kilat-kilat waktu itu menghantui. Kutinggalkan raganya ntah
kemana. Dan sampailah pada sebuah memori, tentang tangisan, tentang kenangan,
tentang jejak-jejak yang tertinggal. Dari sebuah kematian. Tentang daun-daun langit
yang berguguran. Ingatan itu kembali kawan. Ingatan-ingatan yang membuat hati
sedikit terusik, tentang kisah-kisah mereka yang dikenang, tentang jejak-jejak
mereka yang dikasihi, meski bibirnya tak lagi berbicara. Ku biarkan raganya
bermimpi dan aku melewati jalan-jalan ini. Sebuah waktu yang tlah lalu. Ketika satu
demi satu senyum-senyum itu menghilang, tinggal namanya saja yang dikenang. Seorang
sahabat dekat, teman yang sekedar kenal dan yang dipersaudarakan karena
keimanan. Mereka meninggalkan kami satu persatu, meninggalkan mimpi yang tak
sempat tercicipi. Sebuah batas yang Robbul izzati buat untuk kami tak lagi bisa
saling memberi peluk dan mengusap peluh-peluh perjuangan. Sekejam itu kah
kematian? Kembali memori ini ke beberapa waktu yang lalu. Sungguh kawan, tak
jauh dari hari ini. Jiwa –jiwa suci itu tlah pergi meninggalkan pelajaran berharga
untuk kami yang tersisa. Bahwa sebelum kematian itu datang, harus ada sebuah
nama yang suatu saat nanti, hingga ribuan bulan nanti, tak pernah terlupakan. Kami
mengingat kebaikannya, lalu bagaimana nanti denganku jika aku tak pernah
menyimpan tulus-tulus itu? kami pun mengingat tulisan-tulisannya.
Tulisan-tulisan luar biasa yang baru kami sadari ketika jari jemarinya tak lagi
mampu menggoreskan pena. Lalu bagaimana denganku yang tak bisa menulis? Sekedar
menuangkan isi hati pun terlalu rumit. Ntahlah, kami selalu baru menyadarinya
ketika samua itu benar-benar menjadi jejak. Bahkan ketika mereka mencoba
menyampaikan ucapan perpisahan, prasangka tak pernah tertegur dan enggan tangan-tangan
ini mengacuhkan. Bagaimana pula perasaan mereka ketika itu? mungkin semacam
kemarahan yang tak bisa dikonversi dalam tatanan kata atau sebatas menyimpan
ikhlas karena mereka tau suatu saat ruh-ruh kami pun kan sampai pada waktunya.
Besit pertanyaan itu yang kemudian mengeram dalam benakku, apa yang mereka
rasakan saat itu? teka-teki itu satu per satu ku tebak. Dan benar atau tidak
aku tak pernah tau. Mulai meraba esok hari, apakah malam ini sama seperti malam
yang mereka jalani sebelum hari batas
menjadi sebuah akhir.
Andai saja. Andai kematian bisa dinegosiasikan. Andai kami
bisa meminta waktu lebih lama dari yang Kau kehendakkan. Sedikit saja, agar ada
senyum termanis untuk mereka yang kan tinggal lebih lama. Agar kami bisa
memberi waktu terindah pada seutas waktu, menyematkan cinta tertinggi agar
mereka tau jejak-jejak mereka tak kan pernah dilupakan. Agar tak ada kasih
sayang yang belum sempat terucapkan. Kematian.
Mengingatnya. Bertaqwa. Dan aku kembali pada yang tertidur. Menembus
lubang-lubang kaca hijau toska. Membangunkannya. Mengingatkannya. Waktu untuknya
masih ada.
Yaa Gofur. Sungguh. Kami tau Engkau memberi waktu #demi
masa....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar