Ia termasuk salah seorang wanita
yang memberikan kesaksian kebenaran bagi Rasulullah SAW. Rasul turut
menjanjikan imbalan kebaikan dan mendoakan barakah baginya. Ketika suasana iman
menggantikan kegelapan jahiliyyah dan mentari hidayah mulai terpancar di tanah
Madinah, ia mencurahkan segala yang dimiliki dan menjadi ibu kepada dua orang
anaknya yang gugur sebagai syuhada’, dua pahlawan Islam yang segar di dalam
medan sejarah. Berbagai kitab sejarah telah menyajikan peribadi mulia dan
keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh Kabsyah bintu Rafi’, seperti keberanian,
kebaikan dan keprihatinan beliau kepada tetangga. Beliau juga memberikan contoh
terbaik yang mencerminkan kedudukannya yang sangat istimewa di sisi Rasulullah
SAW. Beliau terkenal karena keberanian dan kesabarannya dalam membela
Rasulullah dan mendorong anak-anaknya untuk terjun ke medan jihad. Dalam Perang
Badar, beliau meniupkan semangat kepada kedua anaknya, Saad bin Muadz dan Amru
bin Muadz, agar berjihad karena Allah dengan sebenar-benar jihad, sehingga
keduanya mendapat cobaan yang berakhir dengan kabar kemenangan.
Dalam Perang Uhud, Ummu Saad
turut terlibat secara langsung bersama beberapa wanita Muslimah lainnya. Berita
kekalahan tentara kaum Muslimin dan gugur syahidnya anak beliau, Amru bin Muadz
sampai pada beliau. Namun, hal ini tidak menjadikan beliau patah arang, justru
ia sangat mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah. Beliau lantas bersegera ke
medan peperangan dan melihat dengan mata kepala sendiri keadaan dan keselamatan
Rasulullah SAW. Saat itu juga, beliau memanjatkan puji dan syukur kepada Allah
seraya berkata: ”Selagi aku melihat engkau dalam keadaan yang selamat,
maka musibah ini (kematian Amru bin Muadz) adalah terasa sangat ringan”
Saat Perang Khandaq meletus, Rasulullah
SAW mengarahkan para wanita muslimah dan anak-anak yang turut serta untuk
berlindung di dalam benteng Bani Haritsah. Turut bersama mereka ialah Aisyah
Ummul Mukminin Radiallahu Anha dan Ummu Saad. Aisyah menuturkan bahwa Saad bin
Muadz berlalu untuk menyertai pasukan perang dengan mengenakan baju besi yang
pendek. Beliau juga menyandang tombak yang dibanggakannya sambil melantunkan
bait syair Hamal bin Sa’danah Al-Kalby : “Teguhkan hatimu barang sejenak
dalam gejolak medan laga; Jangan pedulikan kematian jika sudah tiba saatnya.”
Mendengar perkataan anaknya, Ummu Saad
lantas menasihatkan anaknya agar bersegera supaya tidak ketinggalan walau
sesaatpun tanpa bersama-sama Rasulullah. Beliaulah yang tidak henti-henti
menasihati dan meniupkan semangat jihad di dalam dada anak-anaknya. Beliau
berkata: ”Wahai anakku, cepatlah berangkat karena demi Allah, engkau
sudah terlambat!”
Dalam peperangan tersebut, Saad
terkena anak panah lemparan Hibban Al-Urqah yang memutuskan urat di dekat mata
kakinya. Saat itu, Saad sempat berdoa kepada Allah dengan doanya yang sangat
masyur : ”Ya Allah, jika Engkau masih menyisakan peperangan melawan
Quraisy, maka berikanlah aku sisa umur untuk aku menyertainya. Tidak ada kaum
yang lebih aku sukai untuk memeranginya karena Engkau, selain dari kaum yang
telah menyakiti Nabi-Mu, mendustakannya dan mengusirnya. Ya Allah, jika Engkau
menjadikan peperangan antara kami dengan mereka, maka jadikanlah mati syahid
bagiku dan janganlah Engkau uji aku sehingga aku merasakan senang karena dapat
mengalahkan bani Quraizhah”
Tenyata Allah mengabulkan doa
Saad bin Muadz. Sekali lagi, Ummu Saad diuji dengan kehilangan anak beliau.
Sungguh kesabaran dan kekuatannya menerima ujian merupakan teladan yang sangat
baik. Jasad Saad diusung dan dikebumikan di Baqi’. Kesedihan Ummu Saad
terpancar jelas di wajahnya. Lalu Rasulullah menghibur beliau dengan bersabda, ”
Adakah air matamu tidak dapat dibendung dan apakah kesedihanmu tidak dapat
dihilangkan? Sesungguhnya anakmu adalah orang pertama, Allah tersenyum
kepadanya dan Arasy bergoncang karena kematiannya“. Hatinya lantas
gembira dengan doa yang dipanjatkan Rasulullah. Ia hanya mengharapkan pahala
kebaikan di sisi Allah dan RasulNya di atas kematian kedua anaknya syuhada’.
Beliau mendahulukan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di atas segala sesuatu
yang di mata manusia lainnya sangat berharga, termasuk harta dan anak-anak.
Beliau layak mendapatkan kabar gembira dari Allah dan RasulNya sebagai penghuni
syurga. Sabda Rasulullah : ” Wahai Ummu Saad, terimalah khabar gembira
dan sampaikanlah khabar gembira kepada keluarga mereka, bahawa orang-orang yang
terbunuh di antara mereka saling berteman di dalam syurga, semuanya dan mereka
diberi syafaat untuk keluarganya”
Saat ini sulit menentukan sosok
figur shahabiyah dan keteladanannya, sesulit mencari permata ditengah-tengah
hamparan pasir. Namun, bukan berarti fakta ini dijadikan permakluman untuk
membenarkan fakta yang salah. Yang salah akan tetap salah, dan yang haq akan
selamanya haq, tidak akan kemudian tertukar. Munculnya shahabiyah-shahabiyah
yang menjadi figur wanita yang mengagumkan tadi bukanlah suatu kebetulan, bukan
karena sarana kebutuhan yang masih sederhana, bukan pula karena kebutuhan
mereka berbeda dengan kaum wanita saat ini, melainkan karena dilandasi oleh
suatu pemahaman Islam ideologis yang tegak di atas keyakinan yang kokoh, yakni
aqidah Islamiyah.
zMereka sangat menyadari bahwa konsekuensi dari
pemelukan aqidah islamiyah adalah terikat dengan semua aturan-aturan yang
terpancar dari aqidah tersebut, mereka belajar untuk memahami aturan-aturan
Islam, tidak memilih sebagian aturan saja dan mencampakkan sebagian aturan yang
lain. Mereka belum merasa sebagai orang yang memeluk aqidah Islam, kalau mereka
tidak siap untuk menanggung resiko keterikatannya dengan hukum Allah, sekalipun
mereka harus mengorbankan harta tertingginya, yaitu nyawa. Mereka lebih
mencintai Allah dan Rasulnya dibandingkan dengan keluarganya, bukan karena
suatu tradisi yang kebetulan pada saat itu, tapi dilandasi oleh suatu pemahaman
bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kewajiban yang harus
ditunaikan oleh setiap muslim dan muslimah.
Kabsyah, beliau tidak mungkin
bisa mendorong anak-anaknya, Saad dan Amru bin Muadz untuk tetap berada di
medan perang, kalau ia tidak memahami bahwa aktifitas jihad adalah suatu
kewajiban setiap muslim, mundur dari medan perang adalah haram, dan syahid
adalah sebaik-baiknya pahala. Demikian pula ketika mereka ikut bersama-sama
barisan Rasulullah dan para shahabat di medan pertempuran, baik di garis
belakang dengan menyediakan air dan makanan, merawat yang terluka ataupun menyemangati
kaum lelaki yang perperang, beberapa di antara mereka pun megirim makanan ke
medan pertempuran bahkan ikut berhadapan dengan musuh bersama Rasulullah dan
sahabatnya, seluruhnya dilakukan semata-mata karena kecintaannya kepada Allah
dan RasulNya.
Salah satu teladan penting
lainnya yang dapat kita ambil adalah, kemampuan mensinergiskan keseluruhan
peran dan fungsi yang telah Allah bebankan atas mereka, baik dia sebagai
seorang hamba Allah, sebagai istri dan ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.
Seluruh kewajiban yang terkait dengan peran-peran dan fungsi itu mampu ditunaikan
tanpa mengabaikan yang satu dari yang lainnya. Kesibukan dan beratnya beban
mereka dalam mengurus kehidupan rumahtangganya tidak lantas membuat mereka abai
terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan terlebih lagi sebagai
bagian dari masyarakat yang memiliki tanggungjawab besar untuk bersama-sama
kaum Muslimin yang lain membangun kehidupan yang mulia. Demikian pula
sebaliknya, kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan masyarakat,
yang terwujud dalam keterlibatannya dalam aktivitas politik, tidak lantas pula
membuat mereka lalai terhadap kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah
tangga. Semua, mereka lakukan dengan kesadaran penuh bahwa pelaksanaan atas seluruh
peran-peran dan fungsi itu, adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban yang
telah Allah bebankan kepada mereka yang suatu saat akan mereka
pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Wallahu a’lam bishshawwab.
(disarikan dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar