Rantai –rantai perjalanan itu kian mengganggu pikiran. Telah
berlalu beberapa waktu dan hampir terlupa sebenarnya, tapi ternyata kemudian
dan kemudian dalam setiap langkah kaki ini menyusuri jalan, ada saja bait-bait
yang membangunkanku tuk menceritakannya. Perjalanan.
Jakarta. Siapa yang tak pernah mendengar ceritanya? Siapa
yang tak tau tempat gedung-gedung itu berdiri nan tinggi? Melahap kami yang
terlalu kagum dengan megahnya. Dan tersentak sesaat melalui sebuah perjalanan.
Mata ini berusaha memahami. Setiap rute itu, kaki ini
mencoba melangkah. Kami tak pernah datang sebelumnya. Jakarta.
Rumah Allah. Sebuah masjid ternama itu menjadi tujuan kami
pada perjalanan yang pertama. Sebenarnya bisa ditempuh lebih cepat dengan
menggunakan kereta, tapi karena tak ada yang tau persis dari orang-orang yang teman
saya tanya, akhirnya perjalanan itu kami putuskan menggunakan bis yang akan
disambung beberapa kali naik angkot. Bermula dari Bintaro sektor V, cerita itu
dimulai. Tak ada masalah ketika menuju Lebak Bulus, karena kebetulan
angkot-angkot ke sana sudah begitu familiar bagi perantau-perantau seperti
kami. Tak ada halangan, semuanya berjalan lancar. Kemudian barulah ketika harus
berganti alat angkutan kota dari terminal tempat singgah orang-orang beransel
dan tempat tinggal pencari belas kasihan itu, ketidaktahuan ini teruji dengan
kejujuran mereka. Sopir angkot, kenek, calo, pedagang asongan, dan entah
apalagi peran mereka di tempat istirahat mesin-mesin itu. Dan yang kami bisa
lakukan hanya mengikuti. Percaya atau kembali.
Tawakkal itu tak pernah ada kecuali ikhtiar telah dilakukan
bukan? ya, sebelum kami berangkat sudah ada rute yang tercatat rapi, bis apa
saja yang akan kami naiki bla bla bla. Tapi ternyata tak semudah itu. Ada
miskomunikasi . Memang benar arah tujuan kami Depok, tapi luas kota petir itu
tak sekadar puluhan meter persegi. Dan dari sinilah kemudian konsep tawakkal
sedikit menemani. Perjalanan kali itu terasa begitu panjang. Enggan hati ini
mengingatnya, khawatir rasa syukur ini menghilang bersama amarah yang telah
sekuat tenaga kami buang dalam perjalanan pulang siang itu.
Kawan.
Tak ubahnya perjalanan yang seharusnya menyenangkan itu
berubah menjadi sebuah cerita yang berbeda. Tentang pelajaran akan kerasnya
hidup di luar sana. Bukan. Tapi di sini. Di kota yang katanya adalah raja dari
segala kota dari seluruh penjuru tanah ini. Kawan. Beribu kali kami bolak
balikkan hati agar amarah itu berubah menjadi rasa syukur. Dan atas kehendakNya,
rasa syukur itu mengantarkan tubuh lelah waktu itu kembali. Syukur itu, semoga
tak pernah hilang, mengganti waktu, tenaga, uang yang tak seberapa dibanding
payah mereka mencari makan. Mereka. Pahlawan-pahlawan keluarga di kota yang
katanya raja dari segala kota dari seluruh penjuru tanah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar