10 Sep 2013

Akhir...

Kematian. Satu kata yang pada awalnya menjadi remeh temeh, lalu mampu membuat orang menangis sejadi-jadinya karena ditinggalkan. Dialah yang paling dekat. Dialah yang kan setiap orang tuju, saat satu persatu dirinya menyerah, mengembalikan ruh pada pemiliknya.  Satu detik kedepan kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada diri kita, pada diri orang-orang yang menjadi cinta kita.  Mungkin pertanda kan ada.  Seperti beberapa nama tlah terkenang sebelumnya, melalui mimpi, melalui sakit, melalui rasa, rasa rindu yang setiap waktu membuatnya peka bahwa hari ini, siang ini, atau malam ini diri kan pergi hingga seuntai maaf dan sebaris pesan tak terlewatkan.

Lalu mengingatkan pada diri ini, bagaimana nanti? Jika giliran itu tiba, jika kita menjadi yang ditangisi. Mungkin. Atau tak ada yang peduli? Bisa saja bukan? lalu dimana saat kita dijemputnya, utusan pembawa pesan berakhirnya kehidupan. Ada indah yang sekejap, mungkin, ketika terpejam dalam peluk orang-orang yang tercinta, tapi sayang, tak ada pinta tuk kita memilih bersama siapa. Bisa saja bahkan sisa raga ini pun kekasih-kekasih itu tak mampu bertemu.  Tenggelam mengakar pada karang, tertimbun kembali pada sang bumi, atau entah dimana tempatnya. Lagi-lagi semua itu hanya sebatas “mungkin”. Karena pada akhirnya, kita hanya mampu berdoa agar ujung dari sepanjang jalan yang kita cari adalah muara yang melegakan rasa lelah selama ini.

Kematian. Satu batas yang menentukan apakah kita kan dilupakan, atau dikenang. Semua mengabadi pada setiap tinta yang mewarnai kertas kosong kita. Entah seperti apa nanti cara mereka mengingat kita, entah apa doa-doa yang kan menjadi bekal kita. Lagi-lagi kita pun tak pernah tau. Hanya saja, bisa kita tutup warna-warna gelap pada kertas itu dengan tinta-tinta pelangi nan indah, meski bekas-bekas gelap tak semuanya hilang, setidaknya suatu saat, gelap yang samar-samar itu menjadi saksi, kita manusia biasa. Yang berkuasa atas usaha, bukan takdir, bukan akhir...

6 Sep 2013

Wisuda Syar'i ?

Tulisan ini terinspirasi dari pengalaman pribadi saya sebagai mahasiswi tingkat akhir yang ikut tenggelam dalam ribetnya menyiapkan wisuda.  Mungkin sebagian besar bahkan hampir semua calon wisudawati mengidentikkan wisuda dengan kebaya, sanggul, wedges dan sebagainya.  Nah, kebetulan saya mempunyai banyak teman-teman akhwat yang ingin penampilan wisuda mereka tetap syar'i.  Berawal dari situ, saya adn teman sekosan saya mencoba mencari referensi-referensi nya dengan googling tanpa lelah (alay...). Mulai dari memasukkan bermacam-macam kata kunci yang memungkinkan di google dan youtube, kepo foto-foto artis sampai foto-foto teman dan temannya teman di facebook maupun twitter. Tidak banyak memang postingan yang bisa memberikan inspirasi akan hal itu, hehe... Nah, berikut ini adalah kumpulan dari hasil googling artikel maupun foto yang mungkin bisa jadi tips-tips untuk para calon wisudawati yang ingin tetap berpenampilan syar'i...

1.  Wisuda ternyata tidak diwajibkan memakai kebaya.  Tidak ada aturan baku apalagi tertulis, hanya mungkin merupakan kebiasaan yang sudah mendarah daging :D  berdasarkan pengalaman dan cerita dari kakak-kakak tingkat sebelumnya, kebaya ini dipakai ketika para wisudawan berfoto-foto dengan wisudawan lain, keluarga maupun pasangan. Biar terlihat berbeda...

2.  Seperti kita tahu, wisudawan dan wisudawati akan mengenakan pakaian toga yang kita tahu juga bentuk dan ukurannya seperti apa. Toga membeuat pakaian yang kita pakai (read:baju atasan) tidak akan kelihatan.  Jadi, cukup jika kita memperhatikan penampilan rambut atau jilbab dan bawahan..Selain itu, gamis atau dress bisa juga alternatif yang tak kalah cantik. Bagi yang ingin tetap memakai kebaya, gamis juga bisa jahit dari kain kebaya :)

3.  Untuk bawahan kita dapat memakai rok, tapi jangan warna hitam ya, karena toga nya warna hitam juga. Pilihan warna yang bercorak (bukan polos) akan terlihat lebih cantik. Atasan bebas, asal rapi, agar ketika toga dibuka masih tetap terlihat anggun.

4.  Untuk pilihan jilbab,Cukup disesuaikan dengan bawahan jika bentuk pakaiannya potongan dan tidak pakai kebaya, tapi tentunya warna baju disesuaikan juga ya :). Sedangkan untuk bentuk gamis maupun dress, tentu sesuaikan jilbab dengan dress atau gamisnya ya :) Nah, memakai jilbab segiempat dipadukan dengan bros yang agak besar sudah bisa membuat penampilan cantik.  Simpel bukan? apalagi dengan jenis jilbab yang ada sekarang, mulai dari yang polos, bermotif, dua warna dan bermacam-macam jenis serta beraneka kain sebagai bahannya. Para akhwat mempunyai banyak pilihan untuk jilbab jenis apa yang ingin dipakai.  kalau ingin tampilan jilbab yang lebih modis, dapat juga dipakai model-model jilbab yang sedang merebak belakangan ini, tapi... pilih yang dapat dipadukan dengan jilbab dasar syar'i..


gambar-gambar yang bisa jadi referensi untuk jilbab :
      Asma Nadia

Okky Setiana D
Dewi Neelam (http://dewineelam.blogspot.com/2011/03/video-hijab-tutorial-for-graduation.html)

Semoga yang sedikit ini bermanfaat dan selamat mencoba :)
Be Beautiful and syar'i :)

Si Kepompong Lezat


Kalau dilihat dari penampakannya, mungkin gambar di atas cukup menjijikkan. Tapi tunggu dulu, untuk sebagian masyarakat di daerah Pegunungan Kendeng yang notabene adalah daerah berkapur, makhluk hidup di atas bisa jadi menu makanan favorit pada musim-musim tertentu.  Jika kita lihat nama daerahnya, tentu bisa ditebak, pohon jatilah komoditas utama yang merupakan salah satu tumbuhan yang dapat hidup di habitat sedikit unsur hara. Lalu apakah sajian istimewa nan terlihat menjijikkan bagi sebagian orang tersebut? Inilah dia, ungker si kepompong  ulat jati. 
"Ungker" adalah sebutan kepompong ulat jati bagi masyarakat di daerah pantai utara Jawa khususnya Blora (daerah asal saya) yang merupakan penghasil kayu jati dengan kualitas terbaik di Jawa (sepengetahuan saya).  Ungker mempunyai nama latin  Hyblaea puera, kepompong ulat yang memakan daun jati. . Ulat jati suka memakan daun jati muda yang baru tumbuh di awal musim hujan. Pohon jati menggugurkan daunnya pada saat kemarau. Pada awal musim hujan, pohon jati memunculkan daun-daun muda yang berwarna hijau kemerahan. Daun muda inilah ngengat jati meletakkan telurnya. Rata-rata satu betina mampu bertelur 500-1000 butir. Dalam dua hari telur-telur tersebut menetas menjadi ulat kecil yang rakus, yang menyantap daun muda hingga hanya meninggalkan tulang daunnya. Setelah bertumbuh seukuran 4-5 cm (dalam waktu 10-15 hari) ulat akan turun ke tanah untuk berkepompong. Ulat memilih tempat dibalik daun-daun yang gugur dibawah pohon untuk berkepompong (sekitar bulan november-desember). Kepompongnya berbalut kokon sutra. Umur kepompong sekitar 2 minggu. Nah, ungker ini diperoleh setelah dibersihkan dari kokonnya. 
Meskipun terkesan menjijikkan, tapi ungker mengandung protein yang cukup tinggi.  Cara masaknya sederhana.  Ungker tinggal dicuci bersih dan dibumbui sesuai selera. ada yang ditumis, dibacem, dipepes, atau di sangrai (digoreng tanpa minyak). Nikmat bukan?
Pada musim-musim ungker,  di kawasan-kawasan hutan jati akan banyak ditemui para warga dari yang tua sampai yang anak-anak berjongkok memilah-milah daun jati kering. Hanya satu modal yang dibutuhkan, tahan gatal, hehehehe

Selain menjadi sumber pengganti lauk pauk yang gratis dan lezat, harga ungker di pasaran cukup tinggi.  Di Blora sendiri, ketika musim ungker tiba, harganya bisa mencapai 50-60 ribu rupiah per kilo dan dijual dalam keadaan sudah bersih. Alhasil, akan banyak ditemui penjual-penjual dadakan di depan pasar maupun di pinggir-pinggir jalan pada kawasan hutan (seperti kalau ada musim deren atau rambutan).  Kalau dilihat dari harganya, tentu bisa disimpulkan, peminat ungker bukan hanya masyarakat sekitar hutan, tapi juga masyarakat kalangan menengah ke atas (untuk ukuran Kabupaten Blora). Sooo... bagi yang masih asing dengan kudapan istimewa, silakan mencobanya ......:)

22 Apr 2013

Sebuah Hari



Air mata langit itu mengalir deras dari atas. Memamerkan dirinya padaku yang sendirian. Memperlihatkan lenggak lenggok langkah dari balik jendela tanpa jari-jemari ini dapat menyalamnya. Ku kejar kemana larinya. Tapi mereka semua menghilang. Tanpa sedikitpun memberi kesempatan. Lalu ketika hati ini merasa melepas asa. Dalam hati tiap doa terjuntai ku adukan padaNya, agar tersertakan pada tiap tetes rahmat yang di sebarkan di bumi ini, yang menghidupkan, yang menumbuhkan.
Tak satupun terlewat dari lambai-lambai kasih sayang Robbku itu tanpa sebuah permohonan. Karena kalamNya tlah berkata padaku, “Berdoalah, maka akan Ku kabulkan”.  Pun pula Ummul mukminin kami Ibunda Aisyah pernah berujar ribuan tahun lalu, Bahwa jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat hujan, maka beliau berucap ….”Allahumma Shayyiban Naafi’aa”
Butir-butir itu membentuk garis-garis patah dan tegas karena tarikan gravitasi. Mengatakan padaku, kelemahlembutan adalah indah dibersamai dengan keteguhan dan keyakinan pada satu Dzat di atas sana. Suaranya yang lembut tapi lantang, mengisyaratkan agar apa yang terlontar dari hati ini terpilah dan tak menyakiti.
Lalu lamat-lamat juntai doa-doa itu mengiringkan sebuah lukisan. Begitu cantik tapi terlihat kuat. Tentu saja setiap bagian dari raga ini mengenalnya, seseorang yang sekian taun silam mempertaruhkan nyawanya. Ntah seperti apa, karena aku pun tak pernah melihat bagaimana ia berjuang saat itu, tapi sungguh tak bisa terelak diri ini begitu merindunya. Yang jauh dan tak bisa dipeluk, tapi doanya selalu saja mengalir dan tanpa sapaan darinya yang tanpa memperdengarkan kekhawatiran atas sempalan darah dagingnya di tanah yang berbeda.   
Sebuah hari yang terawal dari RahmahNYa, yang berjalan dengan butir-butir bersuara merdu, lalu Dia menutupnya dengan sejuk senja dan iring-iringan gerimis yang hangat. Apalagi kalau bukan kata terimakasih yang mesti terucap. Sebuah perjalanan dalam satu bilangan tlah terlalui dan tertutup dengan sebuah kesempatan mustajab dari tetes-tetes itu untuk diri ini kembali berharap agar bilangan baru yang akan terjalani senantiasa berada dalam cintaNya..



13 Apr 2013

Menggantung di Ujung Jemari



Sebuah ungkapan yang terlalu sederhana dan terlalu sering mengetuk gendang telinga. Gunung pun dapat terbentuk dari butir- butir debu yang menanam tajam sebuah azam hingga batu-batu dilangit terkalahkan oleh tingginya. Begitupun kantong-kantong perasaan ini, telah penuh dengan seribu satu masa lalu yang datang tinggal dan tak mau pergi.  Butir-butir air mata tak lagi mampu menunggu gilirannya melihat bulan gelap di atas sana. Menyedihkan. Dan merasa paling menderita. Lalu apa benar setiap langkah dibelakang waktu itu selalu menyedihkan? Nyatanya sebagian mata berbinar tawa kala indah itu tlah ada digenggamnya dan kisah timur hanya menjadi bahan jenaka. Hati memang selalu berbeda. Butir-butir yang mampu mengalahkan rasa, tlah terkubur teramat jauh bahkan mata tak lagi mampu mengejarnya. Tapi bagaimana dengan hati? Dindingnya selalu kokoh, tanpa sela, dan terlalu sempit tuk sekedar melewatkan sedikit kisah senja.  Saat langit yang terbakar tak mampu mengubah jingganya. Rindu dalam hati itu berkumpul, hari demi hari, hingga sebutir saja dari ribuan detik langkah yang terekam bersama denyut tak lagi mendapatkan tempat, sedangkan sayang apa yang dikata tak bisa tangan merengkuh, tak lagi tau kemana arah kaki ini harus melangkah, karena yang dicari tlah pergi, menghilang. Menyelipkan sebuah rindu semasa nyawa masih bertuan. Begitulah janjinya sebelum pergi. Bahkan hingga titipan rindu itu terbagi. Dan yang dieratkan pada tangannya bukan rindu yg tertitip kepadaku.  Pada suatu batas, pun hati ini sempat terbangun dan menggali lebih jauh dan mengubur setiap kisahnya lebih dalam. Tapi hati memang selalu berbeda. Tak lagi mampu kejujuran ini dikalahkan.  Dalam ketiadaan daya mata, telinga dan lengan ini hendak memeluknya. Luapan rindu dalam hati. Menggantung diujung jemari.

11 Feb 2013

Kisah Hijau Toska



Hijau toska. Sekali waktu diajarkannya padaku tentang mencipta sebuah lembar-lembar kosong. Yang putih, yang bersih, mempersilakan dua kesunyian datang dan berbagi. Menggoreskan kisah membalikkan pasir waktu. Agar kembali jingga tatapannya. Agar duka enggan membayang kembali, menghitamkan jejak langkah yang semestinya tlah jauh  melampau jalan padas terjal ini.
Sekali waktu ia bercerita. Mengajukan sebuah pinta sederhana. Menyambangkan mata pada debu-debu,saksi perjalanan usang mereka yang mungkin tlah sampai pada ujung-ujung rahasia. Ya. Tentu.  Peka hati ini terbangun dari mimpi panjang yang sengaja memori ini merekamnya. Menyimpan dan menutupnya rapat-rapat. Tak hanya aku yang pernah terluka. Mereka pun ada di sini. Dalam kungkung hijau toska. Dalam sebuah lekuk ruang nan tak beraturann tapi teramat rupawan. Anggun. Damai. Membelai hati. Menyejukkan perih luka dengan penuh kehati-hatian. Bersama kata-katanya yang santun bersahabat. Dengan cinta yang diambil dari langit, turun pelan-pelan bersama hujan, melalui pipa-pipa perasaan. Tak pernah menyakiti. Aku terpesona melihatnya. Lalu aku tertegun, mengingatnya sedikit, kemudian berkata selamat tinggal. Tentu aja kau tau, siapa gerangan yang hendak ku tinggalkan. Masa lalu. Masa lalu yang sempat mengalahkan jernih mata memandang jalan berkelok-kelok di depan sana. Yang menantang keteguhan akan rahasia-rahasia besar pada ujungnya. Aku tersenyum. Hanya sedikit. Saat klebat matanya seakan berteriak dan berkata ,”Jangan lakukan!!”. Sempat tangan ini ingin kembali membuka puisi-puisi indah yang kuukir dengan jemari-jemariku sendiri sekian tahun silam. Desah itu kemudian mengingatkan. Dia telah bersama dengan cintanya. Cinta yang lain. Yang lebih bersemi dari apa yang pernah kau tanam untuknya.
Cinta. Siapa sangka kata-kata itu kembali mampu menggelitik hati yang hampir mati. Telah saja kubiarkan ia merah padam dan pergi dari jiwa yang berlari meninggalkan sahaya si pemberi rasa. Lalu ku diamkan. Hati itu pergi mengembara, tak peduli mata kosong sang tuan yang berkata enggan beratus-ratus kali melihat muara sang ujung masa. Hijau toska. Peristirahatan kisah itu melirik keputuasaan yang bersandar pada bayang-bayang masa lalu. Lalu, tak tertarik pula jemari ini meraba akhir dari getir sebuah kesetiaan tak bersahaja. Kesetiaan yang tak pernah berimbalkan cinta nan semestinya.
Hijau toska. Sebuah persemayaman masa lalu. Ku titipkan cerita-cerita itu padamu. Dan tak pernah lagi hati ini kan kembali singgah. Agar sebuah kalimat perpisahan pun menjadikanmu pijakan masa yang akan datang, persinggahan orang-orang yang berlelah hati. Mencari tuah dan mendapati bahwa cinta dari Maha Rahman adalah satu-satunya yang abadi.  Agar setiap gores tak seperih yang pernah melukai.
Dari seorang penjaga masa lalu sebuah kisah ia bertuah pada seorang yang terlara. Hati itu dipilih. Bukan memilih. Cintailah pelan-pelan...
Hati yang mengembara akan berpulang pada tuannya, bersama sebuah kisah titipan Maha Rahim. Melalui perjanjian besar yang terucap dibersamai doa para malaikat. Pada muara yang dari jalan ini tak pernah diperlihatkan pada kita, rahasia besar di balik gemericik air dari bermacam penjuru rasa manusia.

23 Jan 2013

Perjalanan



Rantai –rantai perjalanan itu kian mengganggu pikiran. Telah berlalu beberapa waktu dan hampir terlupa sebenarnya, tapi ternyata kemudian dan kemudian dalam setiap langkah kaki ini menyusuri jalan, ada saja bait-bait yang membangunkanku tuk menceritakannya. Perjalanan.
Jakarta. Siapa yang tak pernah mendengar ceritanya? Siapa yang tak tau tempat gedung-gedung itu berdiri nan tinggi? Melahap kami yang terlalu kagum dengan megahnya. Dan tersentak sesaat melalui sebuah perjalanan.
Mata ini berusaha memahami. Setiap rute itu, kaki ini mencoba melangkah. Kami tak pernah datang sebelumnya. Jakarta.
Rumah Allah. Sebuah masjid ternama itu menjadi tujuan kami pada perjalanan yang pertama. Sebenarnya bisa ditempuh lebih cepat dengan menggunakan kereta, tapi karena tak ada yang tau persis dari orang-orang yang teman saya tanya, akhirnya perjalanan itu kami putuskan menggunakan bis yang akan disambung beberapa kali naik angkot. Bermula dari Bintaro sektor V, cerita itu dimulai. Tak ada masalah ketika menuju Lebak Bulus, karena kebetulan angkot-angkot ke sana sudah begitu familiar bagi perantau-perantau seperti kami. Tak ada halangan, semuanya berjalan lancar. Kemudian barulah ketika harus berganti alat angkutan kota dari terminal tempat singgah orang-orang beransel dan tempat tinggal pencari belas kasihan itu, ketidaktahuan ini teruji dengan kejujuran mereka. Sopir angkot, kenek, calo, pedagang asongan, dan entah apalagi peran mereka di tempat istirahat mesin-mesin itu. Dan yang kami bisa lakukan hanya mengikuti. Percaya atau kembali.
Tawakkal itu tak pernah ada kecuali ikhtiar telah dilakukan bukan? ya, sebelum kami berangkat sudah ada rute yang tercatat rapi, bis apa saja yang akan kami naiki bla bla bla. Tapi ternyata tak semudah itu. Ada miskomunikasi . Memang benar arah tujuan kami Depok, tapi luas kota petir itu tak sekadar puluhan meter persegi. Dan dari sinilah kemudian konsep tawakkal sedikit menemani. Perjalanan kali itu terasa begitu panjang. Enggan hati ini mengingatnya, khawatir rasa syukur ini menghilang bersama amarah yang telah sekuat tenaga kami buang dalam perjalanan pulang siang itu.
Kawan.
Tak ubahnya perjalanan yang seharusnya menyenangkan itu berubah menjadi sebuah cerita yang berbeda. Tentang pelajaran akan kerasnya hidup di luar sana. Bukan. Tapi di sini. Di kota yang katanya adalah raja dari segala kota dari seluruh penjuru tanah ini. Kawan. Beribu kali kami bolak balikkan hati agar amarah itu berubah menjadi rasa syukur. Dan atas kehendakNya, rasa syukur itu mengantarkan tubuh lelah waktu itu kembali. Syukur itu, semoga tak pernah hilang, mengganti waktu, tenaga, uang yang tak seberapa dibanding payah mereka mencari makan. Mereka. Pahlawan-pahlawan keluarga di kota yang katanya raja dari segala kota dari seluruh penjuru tanah ini.

4 Jan 2013

Tentang Satu Cerita (bagian akhir)



Dan untuk kesekian kalinya, ku biarkan kau terus berada nan jauh disana, karena ku tahu tak bisa kusebut namamu, sayang.. aku belum mengenalmu, belum pula ku kenal seperti apa wajah itu. tapi keyakinan hati ini dan bisikan malam ketika senjamu berlalu, meneguhkan hati bahwa kau ada di sana menungguku. Di batas waktu.
Biar ku simpan dalam diam, dalam janji matahari pagi dan malam yang selalu menjaga. Maaf tak mampu kuucap sebuah nama..
Karena aku belum mengenalmu
Tapi di dalam sini, kutahan waktu untukmu
Percayalah..

16 Desember 2024

Hari sebelumnya, kami sedang membaca buku bersama. Dunia Tumbuhan. Buku baru Nehan. Lalu ada sebuah tumbuhan yang mengena di hati saya. Embu...